Diteras depan rumah, adik dan ayah sedang bercanda dengan riangnya. Ibu menyapu halaman rumah yang dipenuhi oleh guguran dedaunan kering dari pohon rambutan yang menaungi gubuk mungil milik kami. Saat itu sore hari , akhir pekan. Aku menyirami tanaman bunga yang ada di halaman rumah. Semua tanaman hampir mulai kering karena hujan akhir-akhir ini jarang turun. Akhirnya aku harus ekstra rajin menyirami mereka. Jika tidak tentu akan berakhirlah riwayat tanaman-tanaman itu. ”Midah, sudah selesai kau siram bunga-bunga itu ?”, suara ibu bertanya padaku. Ku alihkan wajahku melihat ibu yang masih asyik dengan kegiatannya. ”Hampir selesai bu, sebentar lagi juga akan selesai kok. Ada apa, bu ?”. ”Selepas itu kau pergi ke warung Bu Leli, belikan ibu beras 1 kg. Karena beras persediaan kita hampir habis”. ”Iya, bu”. Akhirnya selesai juga aku menyirami bunga-bunga ini semoga mereka kembali segar dan kuncup-kuncupnya segera mengembang.
Aku masuk ke dalam rumah untuk meletakkan ember tempat menampung air yang kugunakan untuk menyiram tanaman bunga tadi. Setelah itu aku kembali ke luar menuju ke arah ibu yang masih belum selesai menyapu halaman karena masih banyak daun-daun yang bertebaran di halaman. ”Sudah bu, Midah sudah selesai menyiram bunganya. Sekarang Midah akan ke warung Bu Leli. Mana bu uang untuk membeli berasnya?”. Ibu menghentikan sejenak aktivitasnya sesaat setelah aku bicara. Beliau menatap wajahku sambil berkata,”Sampaikan pada Bu Leli bahwa minggu depan uangnya dibayar. Sekalian dengan belanja hari kemarin. Tolong ibu ya, Nak...”, suara ibu melemah saat mengakhiri kalimatnya. Aku pun tidak dapat berkata-kata apalagi. Kuturuti kemauan ibu dan kulakukan apa yang disampaikannya. Sepanjang perjalanan menuju warung aku terus berdoa agar pemilik warung mengabulkan permintaan ibu. Alhamdulillah, doaku terkabul.
Dengan perasaan senang, sambil berlari kecil aku kembali menuju rumah. Melihat kemunculanku yang begitu cepat, ibu pun tersenyum dan pasti menyangka bahwa aku berhasil membawa beras yang diminta ibu. ”Bagaimana, dapat berasnya ?”, ibu bertanya dengan wajah tidak sabar. ”Alhamdulillah, Midah berhasil bu membawa 1kg beras. Walaupun hutang..he..he..he..”. Aku tertawa kecil sambil menyerahkan beras ke tangan ibu dan wajah ibu pun berubah menjadi senang.
1 bulan telah berlalu sejak kejadian sore itu, suasana di halaman rumah semakin semarak karena tanaman bunga yang selama ini ku siram mengeluarkan kuntum-kuntum mungil pertanda akan menjadi bunga-bunga yang cantik. Hatiku menjadi senang melihatnya. ”Kamu sedang memikirkan apa Midah, kok senyum-senyum sendiri?”, suara ibu mengagetkanku. ”Ahh, ibu bikin Midah kaget aja. Itu loh bu, Midah senyum karena merasa senang. Tanaman bunga yang selama ini Midah siram sudah mulai muncul kuncup bunganya”. ”Oooh, karena itu kamu tersenyum-senyum sendiri”. Ibu berbicara sambil mengangguk-anggukan kepalanya. ”Midah, jika nanti kamu dewasa kelak kamu dapat memanfaatkan keindahan bunga-bunga itu untuk bekal hidupmu. Sehingga kamu tidak perlu lagi hutang pada orang lain hanya sekedar untuk membeli 1kg beras”. Pandangan ibu menerawang jauh saat mengatakan hal itu. ”Kenapa ibu mengatakan hal demikian dan kenapa harus menunggu Midah dewasa. Apakah hal itu tidak dapat kita lakukan sekarang juga bu ?”. Ibu hanya tersenyum sambil memandangiku saat aku menanyakan hal itu padanya. Aku tidak mengerti apa arti senyum ibu saat itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar