Pagi ini langit kembali gelap dan mendung dan sepertinya akan turun hujan. Aku harus mempercepat langkahku agar tiba di sekolah lebih cepat dan tidak kehujanan. Rintik halus hujan mulai menyentuh tanganku yang kurus dan hitam. Hitam karena setiap hari aku harus berpanas-panas berjalan kaki mulai dari pulang sekolah hingga kembali ke rumah dan kembali berpanas-panas lagi demi menjajakan opak daganganku dengan berdiri sambil berjalan dipinggir jalan raya menawarkan daganganku pada orang-orang yang lalu lalang disana. Ini semua kulakukan demi membantu ibu menghidupi kami, anak-anaknya. Sejak ditinggal ayah beberapa tahun lalu nyaris ibu harus pontang-panting mencari sumber pencarian demi memenuhi kebutuhan kami setiap hari.
Aku berlari sekencang mungkin karena aku sudah merasakan rintik hujan mengenai rambut kepalaku. Aku tidak ingin baju yang kukenakan basah kuyup karena hujan. Di depan mataku gerbang sekolahku sudah kelihatan , aku lebih mempercepat lariku. Nafasku terengah-engah karena berlari dan aku meletakkan tasku di atas kepala agar rintik hujan tidak langsung mengenai kepalaku. Sepertinya hujan pagi ini akan turun dengan derasnya. Beberapa langkah lagi aku akan sampai di gerbang sekolah dan selamatlah aku. Ketika aku tiba di gerbang sekolah hujanpun turun dengan derasnya dan akupun tidak luput dari guyurannya. Tapi aku masih bersyukur hujan turun dengan derasnya setelah aku sampai di sekolah. Akupun tidak basah kuyup oleh terpaannya. Yah, walaupun baju sekolahku basah tapi sampai basah kuyup.
Rina teman sekelasku tidak berapa lama juga sampai, dia diantar oleh orangtuanya menggunakan mobil. Dia turun dengan berlindungkan payung besar sehingga kepalanya tidak terguyur air hujan. Kami saling berpandangan dari jauh, setelah melihatku ia pun tersenyum kecil. Ia menghampiriku sambil menghentakkan payung besarnya agar air yang menempel terlepas kemudian menguncupkannya untuk melapangkan jalan kami. “Nisa, sudah lama kamu sampai ? Koq kamu enggak basah, padahal hujan deras begini?”, Rina keheranan melihat keadaanku. “Aah, enggak. Aku juga baru sampai, beda beberapa menit aja dari kamu. Tapi sempat juga aku merasakan gerimis, tapi karena aku berlari saat tahu gerimis mulai turun makanya aku bisa selamat dari guyuran hujan”, aku tertawa kecil merasakan lega. Rina mengangguk sambil tersenyum tanda paham, kami pun berjalan menuju kelas.
”Nisaa.... Nisaa..!”, aku mendengar sebuah suara memanggil namaku. Aku mencari sumber suara,ternyata Rina sudah berada dibelakangku. Ia mempercepat langkahnya menuju ke arahku. “Nisa, gimana tentang persiapan kita menyambut Hari Guru, apakah sudah disampaikan kepada ketua seksi acara ?”. ”Ooops, aku hampir lupa Rin. Iya, ya gimana persiapannya ? Aku juga belum tahu sampai sejauh ini sudah sampai berapa persen persiapannya. ”Gimana kalau nanti sore kita ke rumah ketua seksi acara menanyakan hal ini?. Kamu bisa enggak?. ”Aduh, gimana yah Rin... Soalnya aku harus membantu ibuku dirumah, biasalah...”, aku cengengesan di depan Rina. Semoga dia memahami keadaanku. ”Hmmm..kalau begitu besok saja kita bicarakan lagi yah. Dan aku harap kamu ikut mengisi acara. Kamu kan jago baca puisi,Nisa. Apalagi kalau kamu membacakan puisi hasil karyamu sendiri, pasti lebih seru lagi.” Rina memberi semangat padaku. ”Insya Allah, aku ikut mengisi acara peringatan hari guru minggu depan, jangan khawatir”, aku mengedipkan mataku pada Rina. Kami pun berpisah ketika tiba di gerbang sekolah dan berlalu menuju rumah kami masing-masing. Rina dengan mobil jemputannya dan aku dengan langkah kakiku yang pasti.
2 hari lagi peringatan hari guru akan tiba, sementara aku belum menemukan puisi yang kurasakan pantas untuk kubacakan pada hari H. Saat aku kebingungan, tiba-tiba ibu menyentuh pundakku dengan halus. Aku sedikit kaget. ”Eeh..ibu, ada apa bu ?. Apa yang kamu pikirkan Nisa, koq ibu lihat dari tadi seperti orang kebingungan. Memangnya ada masalah di sekolahan, cerita aja sama ibu. Mana tau ibu bisa bantu.” Aah..enggak ada apa-apa koq bu, Nisa hanya pusing memilih puisi yang Nisa akan bacakan saat peringatan hari guru besok. Waktunya tinggal 2 hari lagi bu, sementara puisinya belum Nisa pilih. ”Ooh, itu yang jadi pikiranmu saat ini?. Ibu kira ada masalah apa. Oh ya, sebentar Nisa ...ibu mau menunjukkan sesuatu kepadamu. Ini sudah lama ibu simpan, ibu ingin kamu memakainya suatu saat. Mungkin ini saat yang tepat ibu tunjukkan padamu. Tunggu yah, kamu jangan kemana-mana..!”, ibu bergegas masuk ke kamar.
Tidak berapa lama ibu kembali keluar dari kamar dan memegang sesuatu di tangannya. “Nih, ibu ingin kamu coba memakainya. Agar kamu lebih terlindungi”. Ibu memberikan sesuatu kepadaku. Aku mencoba memperhatikan sesuatu yang baru saja diberikan ibu padaku. Jilbab. Ibu memberikan sebuah jilbab padaku. Aku membuka lipatan jilbab, mataku terpana pada sebuah sulaman berbentuk hati pada tepi-tepi jilbab. Manis sekali. Aku tidak menyangka kalau ibu sebenarnya selama ini mahir menyulam. Karena selama ini aku tidak pernah melihat ibu menyulam. Jadi kapan ibu menyelesaikan jilbab bersulamkan hati ini ?
”Ibu sengaja membuat surprise untuk kamu. Tentu kamu tidak menyangkakan kalau ibu bisa menyulam ?. ”Iya, bu. Nisa gak nyangka kalau ibu ternyata bisa menyulam. Kalau Nisa tau tentu dari dulu Nisa akan belajar menyulam sama ibu. Terimakasih yah bu atas surprisenya. Nisa akan pakai jilbab ini saat peringatan hari guru. Dan karena ibu, Nisa jadi punya ide tentang puisi yang akan Nisa bacakan saat peringatan hari guru esok lusa”. Ibu tersenyum bahagia melihat sambutanku atas surprise yang diberikannya.
Hari guru akhirnya tiba. Pada hari itu aku mengenakan jilbab yang diberikan ibu, banyak teman-temanku yang pangling dan kaget dengan penampilanku pada hari itu. Aku hanya tersenyum saja melihat ekpresi mereka. Saat namaku dipanggil untuk membacakan puisi, aku pun langsung maju ke tengah lapangan. Aku teringat pada ibu di rumah, pada jilbab pemberian ibu. Ibu dan jilbab yang ku kenakan ini menjadi inspirasiku menciptakan puisi. Jilbab hati sulaman ibu, adalah judul puisiku. Lega karena kebingunganku sudah teratasi. Mmmhh.....Terimakasih ibu.
Aku berlari sekencang mungkin karena aku sudah merasakan rintik hujan mengenai rambut kepalaku. Aku tidak ingin baju yang kukenakan basah kuyup karena hujan. Di depan mataku gerbang sekolahku sudah kelihatan , aku lebih mempercepat lariku. Nafasku terengah-engah karena berlari dan aku meletakkan tasku di atas kepala agar rintik hujan tidak langsung mengenai kepalaku. Sepertinya hujan pagi ini akan turun dengan derasnya. Beberapa langkah lagi aku akan sampai di gerbang sekolah dan selamatlah aku. Ketika aku tiba di gerbang sekolah hujanpun turun dengan derasnya dan akupun tidak luput dari guyurannya. Tapi aku masih bersyukur hujan turun dengan derasnya setelah aku sampai di sekolah. Akupun tidak basah kuyup oleh terpaannya. Yah, walaupun baju sekolahku basah tapi sampai basah kuyup.
Rina teman sekelasku tidak berapa lama juga sampai, dia diantar oleh orangtuanya menggunakan mobil. Dia turun dengan berlindungkan payung besar sehingga kepalanya tidak terguyur air hujan. Kami saling berpandangan dari jauh, setelah melihatku ia pun tersenyum kecil. Ia menghampiriku sambil menghentakkan payung besarnya agar air yang menempel terlepas kemudian menguncupkannya untuk melapangkan jalan kami. “Nisa, sudah lama kamu sampai ? Koq kamu enggak basah, padahal hujan deras begini?”, Rina keheranan melihat keadaanku. “Aah, enggak. Aku juga baru sampai, beda beberapa menit aja dari kamu. Tapi sempat juga aku merasakan gerimis, tapi karena aku berlari saat tahu gerimis mulai turun makanya aku bisa selamat dari guyuran hujan”, aku tertawa kecil merasakan lega. Rina mengangguk sambil tersenyum tanda paham, kami pun berjalan menuju kelas.
”Nisaa.... Nisaa..!”, aku mendengar sebuah suara memanggil namaku. Aku mencari sumber suara,ternyata Rina sudah berada dibelakangku. Ia mempercepat langkahnya menuju ke arahku. “Nisa, gimana tentang persiapan kita menyambut Hari Guru, apakah sudah disampaikan kepada ketua seksi acara ?”. ”Ooops, aku hampir lupa Rin. Iya, ya gimana persiapannya ? Aku juga belum tahu sampai sejauh ini sudah sampai berapa persen persiapannya. ”Gimana kalau nanti sore kita ke rumah ketua seksi acara menanyakan hal ini?. Kamu bisa enggak?. ”Aduh, gimana yah Rin... Soalnya aku harus membantu ibuku dirumah, biasalah...”, aku cengengesan di depan Rina. Semoga dia memahami keadaanku. ”Hmmm..kalau begitu besok saja kita bicarakan lagi yah. Dan aku harap kamu ikut mengisi acara. Kamu kan jago baca puisi,Nisa. Apalagi kalau kamu membacakan puisi hasil karyamu sendiri, pasti lebih seru lagi.” Rina memberi semangat padaku. ”Insya Allah, aku ikut mengisi acara peringatan hari guru minggu depan, jangan khawatir”, aku mengedipkan mataku pada Rina. Kami pun berpisah ketika tiba di gerbang sekolah dan berlalu menuju rumah kami masing-masing. Rina dengan mobil jemputannya dan aku dengan langkah kakiku yang pasti.
2 hari lagi peringatan hari guru akan tiba, sementara aku belum menemukan puisi yang kurasakan pantas untuk kubacakan pada hari H. Saat aku kebingungan, tiba-tiba ibu menyentuh pundakku dengan halus. Aku sedikit kaget. ”Eeh..ibu, ada apa bu ?. Apa yang kamu pikirkan Nisa, koq ibu lihat dari tadi seperti orang kebingungan. Memangnya ada masalah di sekolahan, cerita aja sama ibu. Mana tau ibu bisa bantu.” Aah..enggak ada apa-apa koq bu, Nisa hanya pusing memilih puisi yang Nisa akan bacakan saat peringatan hari guru besok. Waktunya tinggal 2 hari lagi bu, sementara puisinya belum Nisa pilih. ”Ooh, itu yang jadi pikiranmu saat ini?. Ibu kira ada masalah apa. Oh ya, sebentar Nisa ...ibu mau menunjukkan sesuatu kepadamu. Ini sudah lama ibu simpan, ibu ingin kamu memakainya suatu saat. Mungkin ini saat yang tepat ibu tunjukkan padamu. Tunggu yah, kamu jangan kemana-mana..!”, ibu bergegas masuk ke kamar.
Tidak berapa lama ibu kembali keluar dari kamar dan memegang sesuatu di tangannya. “Nih, ibu ingin kamu coba memakainya. Agar kamu lebih terlindungi”. Ibu memberikan sesuatu kepadaku. Aku mencoba memperhatikan sesuatu yang baru saja diberikan ibu padaku. Jilbab. Ibu memberikan sebuah jilbab padaku. Aku membuka lipatan jilbab, mataku terpana pada sebuah sulaman berbentuk hati pada tepi-tepi jilbab. Manis sekali. Aku tidak menyangka kalau ibu sebenarnya selama ini mahir menyulam. Karena selama ini aku tidak pernah melihat ibu menyulam. Jadi kapan ibu menyelesaikan jilbab bersulamkan hati ini ?
”Ibu sengaja membuat surprise untuk kamu. Tentu kamu tidak menyangkakan kalau ibu bisa menyulam ?. ”Iya, bu. Nisa gak nyangka kalau ibu ternyata bisa menyulam. Kalau Nisa tau tentu dari dulu Nisa akan belajar menyulam sama ibu. Terimakasih yah bu atas surprisenya. Nisa akan pakai jilbab ini saat peringatan hari guru. Dan karena ibu, Nisa jadi punya ide tentang puisi yang akan Nisa bacakan saat peringatan hari guru esok lusa”. Ibu tersenyum bahagia melihat sambutanku atas surprise yang diberikannya.
Hari guru akhirnya tiba. Pada hari itu aku mengenakan jilbab yang diberikan ibu, banyak teman-temanku yang pangling dan kaget dengan penampilanku pada hari itu. Aku hanya tersenyum saja melihat ekpresi mereka. Saat namaku dipanggil untuk membacakan puisi, aku pun langsung maju ke tengah lapangan. Aku teringat pada ibu di rumah, pada jilbab pemberian ibu. Ibu dan jilbab yang ku kenakan ini menjadi inspirasiku menciptakan puisi. Jilbab hati sulaman ibu, adalah judul puisiku. Lega karena kebingunganku sudah teratasi. Mmmhh.....Terimakasih ibu.
wahh.. nisa mana nih?
BalasHapus*merasa :malu:
hehehhe..
nice cerpen kak.. cuma masih bingung aja ngebedain antara percakapan NIsa dan Rina ;)
hehehe....nisa, si gadis sederhana yang sayang ama ibunya ;-)
BalasHapusbingung ya...Kalo ada nyebut dirinya "Aku..." itu si Nisa. So...jangan bingung lagi ya nisa.
Ini cerpen dah masuk Buletin punya Pemko, dapet honor :tuing:tuing: hehehe